Selasa, 08 Desember 2015

Ilusi Penanggulangan AIDS Ala Sistem Liberalisme


Angka penularan HIV/AIDS di Indonesia terus meroket. Prevalensi atau jumlah keseluruhan kasus HIV di Indonesia sebesar 0.16% dari populasi penduduk. Indonesia termasuk dalam negara epidemik HIV. Pertumbuhan epidemi HIV Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Penularan HIV baru di Indonesia terjadi peningkatan sebesar 162% sejak tahun 2001 (AIDS Datahub, 2014).
Hasil modeling yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan, pada tahun 2012 di Indonesia ada 591.823 orang yang hidup dengan HIV (ODHA). Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan kepada Kemenkes pada tahun 2012 mencapai 21.511 orang dan pada tahun 2013 sekitar 29.037 orang. Perkiraan infeksi baru pada tahun-tahun tersebut berkisar 60.000 orang.
Pemodelan epidemi HIV menggunakan Asian Epidemic Model (AIM) menunjukkan, masih akan terjadi peningkatan jumlah infeksi baru bila tidak ada penambahan dan peningkatan intervensi. Pada tahun 2015 jumlah ODHA di Indonesia akan meningkat menjadi 1 juta penderita dan diperkirakan pula akan ada 350.000 kematian akibat AIDS pada tahun yang sama.
Dari banyaknya Orang yang terkena HIV/AIDS di Indonesia, tragisnya ibu rumah tangga menempati peringkat teratas. Jumlahnya mencapai 6.539 di tahun 2014. Data ini dikumpulkan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di tahun 2007-2014. Mereka adalah korban dari suami mereka yang tertular HIV/AIDS akibat perilaku seks kotor; gonta-ganti pasangan, mendatangi pelacuran, atau penggunaan narkoba dengan jarum suntik.
HIV/AIDS lantas menyebar pada anggota keluarga lain; anak-anak! Menurut data Kemenkes, jumlah HIV/AIDS pada anak usia 0-4 dan 5-14 tahun terus meningkat dari 2010 hingga 2013.
Program Gagal!
Terus meroketnya angka penularan dan penyebaran HIV/AIDS mengindikasikan bahwa upaya penanggulangan selama ini sudah gagal. Mungkin segelintir orang bisa diselamatkan, tapi tidak bisa mencegah lebih banyak.
Skema ABC (Abstinence-Be faithful-Condom) untuk mencegah penularan HIV/AIDS menjadi sia-sia karena perilaku seksual masyarakat tetap dan malah semakin permisif. Hubungan seks bebas (zina) dan penggunaan jarum suntik secara bergiliran di kalangan pecandu narkoba masih menjadi penyebab utama penularan virus HIV/AIDS.
Banyak daerah mengalami kenaikan jumlah pengidap HIV/AIDS seiring dengan makin liberalnya pergaulan masyarakatnya, terutama di kalangan beresiko tinggi tertular HIV/AIDS. Hal ini membuktikan, upaya pencegahan penularan penyakit ini sudah menemui jalan buntu.
Karenanya sekarang kampanye pun digeser yakni justru banyak ditujukan agar publik dapat menerima kehadiran kaum OHIDA (Orang Hidup Dengan HIV/AIDS). Masyarakat juga diajak tidak malu melakukan tes HIV/AIDS, dan bagi yang terbukti positif dihimbau agar mau berobat dan hidup normal seperti orang kebanyakan.
Penanganan penyakit HIV/AIDS sekarang lebih fokus pada kuratif, ketimbang preventif. Padahal sesungguhnya penanganan yang paling tepat justru pada preventif atau pencegahan.
Peringatan Allah Itu Benar
Apa yang kita saksikan hari ini tidak lain sudah diperingatkan Allah SWT. bahwa setiap perbuatan maksiat akan mendulang kerusakan yang menimpa siapa saja, bukan hanya pelaku kemaksiatan tersebut. (QS. Al-Anfal [8]: 25)
Rasul saw juga bersabda:
« إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَاصِى فِى أُمَّتِى عَمَّهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ »
“Jika telah nampak kemaksiatan-kemaksiatan di tengah-tengah umatku, Allah Azza wa Jalla akan meratakan dengan azab dari sisiNya.” (HR. Ahmad).
Meluasnya penyebaran HIV/AIDS hingga kepada orang yang tidak bersalah seperti para ibu rumah tangga, bayi dan anak-anak, atau orang yang terinfeksi karena peralatan medis yang tidak steril, atau transfusi darah yang sudah tercemar, adalah sebagian bukti hal itu.
Mereka adalah korban tak bersalah akibat perilaku menyimpang dari sebagian orang. Bisa pasangan mereka, orang tua mereka, atau yang lain.
HIV/AIDS bukan penyakit yang menular dengan cara biasa layaknya influenza, kolera, atau TBC. Tapi penyakit ini menular karena gaya hidup yang menyimpang dari fitrah manusia dan peringatan Allah SWT. Perzinahan, anal seks, lesbian dan gay juga penggunaan narkoba, adalah perbuatan maksiat yang menjadi biang penyebaran penyakit HIV/AIDS.
Mengherankan di satu sisi masyarakat dihimbau dan diminta mewaspadai penularan penyakit HIV/AIDS, tapi pemerintah justru seperti tutup mata dengan makin rusaknya sistem sosial masyarakat. Perilaku seks bebas, pergaulan yang campur baur, pelacuran, dan lainnya dibiarkan.
Alih-alih menghentikan gaya hidup seks bebas, sejumlah pejabat negara dan kepala daerah malahan ingin melegalkan lokalisasi bagi para PSK. Pada kabinet lalu misalnya, Menkes Nafsiah Mboi bersikukuh ingin mempertahankan keberadaan lokalisasi yang menurutnya mampu menertibkan prostitusi dan lebih mudah pengawasan kesehatannya.
Di kalangan pejabat daerah, ada Gubernur DKI Ahok yang sempat melontarkan gagasan membangun apartemen khusus PSK. Bahkan kelak para PSK yang beroperasi di sana hanya yang sudah bersertifikasi. Wagub DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, juga mengusulkan adanya kartu khusus bagi konsumen kaum prostitusi tersebut. Kartu itu dinamakan Kartu Jakarta Butuh.
Walau baru wacana, tapi pikiran semacam ini menunjukkan logika penyelesaian persoalan sosial termasuk penyebaran HIV/AIDS di kalangan pejabat amat kacau dan benar-benar liberal!
Selain persoalan seks bebas, masyarakat juga mulai dibombardir dengan berbagai informasi supaya mengakui kehadiran kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Di tanah air, sejumlah publik figur terang-terangan mendukung kehadiran LGBT. Belakangan, sejumlah kalangan berencana akan melakukan peringatan hari LGBT sedunia di tanah air. Padahal baik pelaku seks bebas dan LGBT adalah sumber primer penularan penyakit HIV/AIDS, selain para pengguna narkoba.
Karenanya, selama gaya hidup menyimpang seperti ini tidak dilarang, maka jangan harap penularan penyakit HIV/AIDS akan berkurang apalagi berhenti. Justru akan semakin meroket. Inilah ilusi sistem liberalisme yang mengharapkan bisa mencegah dan menangani penyebaran virus HIV/AIDS.
Takwa Individu dan Syariat Islam
Apa yang dilakukan hari ini oleh seluruh negara di dunia, termasuk pemerintah Indonesia, dipastikan akan menemui jalan buntu. Pasalnya mereka justru lebih berkutat pada tindakan kuratif ketimbang preventif. Padahal solusi terbaik adalah preventif, mencegah perilaku seks bebas dan gaya hidup liberal. Pencegahan yang terbaik tidak lain berasal dari ketakwaan pribadi muslim.
Dalam pandangan Islam, zina adalah keji dan termasuk dosa besar. Siapa saja yang bisa menghindarinya maka akan selamat dari azab Allah dan mendapatkan ganjaran besar di sisi Allah. Sabda Nabi SAW.
«سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى ظِلِّهِ ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ… وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّى أَخَافُ اللَّهَ»
“Tujuh golongan yang Allah naungi mereka pada Hari Kiamat dalam naungannya, hari dimana tidak ada naungan kecuali naunganNya;…seorang pemuda yang diajak berzina oleh wanita yang cantik dan kaya tapi ia menolak dan mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’.” (HR. Bukhari).
Solusi yang diberikan Islam juga amat jitu, yakni memberikan tindakan preventif dengan mengharamkan perzinahan dan gaya hidup LGBT. Bahkan al-Quran memberikan hukum yang lebih tegas dalam menata sistem sosial, dengan mengharamkan aktivitas apa saja yang mendekati perzinaan (QS. Isra [17]: 32).
Dalam pemenuhan kebutuhan biologis, Islam hanya melegalkan pernikahan pria dengan wanita, sehingga pria dan wanita dapat menjaga kehormatan dan juga dapat memiliki keturunan. Islam menutup rapat-rapat pintu perzinahan sekalipun dilakukan atas dasar suka sama suka.
Islam juga mengancam dengan sanksi keras bagi para pelaku perzinahan; sanksi dera bagi pezina yang belum menikah (ghayru muhshan) dan sanksi rajam hingga mati bagi pelaku yang telah menikah (muhshan). Sanksi yang begitu tegas ini menjadi preventif meruyaknya perbuatan zina di masyarakat. Dengan begitu orang pun tidak akan berani melakukan perzinahan.
Akan tetapi tidak mungkin solusi Islam ini dapat diterapkan di alam liberalisme. Menyuruh rakyat menjaga diri tapi lingkungan liberal penuh dengan gaya hidup permisif. Ibarat orang disuruh bersuci tapi kemudian dibiarkan berjalan di lingkungan penuh najis, kemungkinan besar akan terkena najis.
Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan umat dari epidemi HIV/AIDS melainkan dengan mengenyahkan liberalisme lalu menggantinya dengan syariat Islam. Islam akan mencegah perbuatan zina dengan membuka kemudahan pintu pernikahan dan menjaganya dengan sanksi pidana yang ketat.
Adapun orang yang tak bersalah yang telah menjadi pengidap HIV/AIDS maka akan dilindungi oleh negara. Mereka akan diberikan perawatan yang optimal agar tetap dapat hidup normal, beribadah kepada Allah, dan menjalankan syariat Islam dalam kehidupan.
Wahai kaum muslimin!
Liberalisme dan demokrasi telah menghancurkan tatanan kehidupan umat! Belum cukupkah derita dan bencana yang terjadi? Saatnya segera melakukan perubahan, campakkan liberalisme dan tegakkanlah Syariat Islam dan Khilafah. Dengan itu Allah SWT akan menurunkan pertolongan dan keberkahan. Yakinlah!
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (TQS. Fathir [35]: 5)
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Tahun depan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) sampai dengan Rp 532,4 triliun.‎ Sekitar 24% dari total tersebut akan diterbitkan dalam bentuk sukuk atau obligasi berbasis syariah. (detikfinance, 7/12)
1. Itu artinya utang pemeritah tahun 2016 akan bertambah 532,4 triliun. Padahal total utang pemerintah pusat pada 30 September 2015 saja sudah 3.091,06 triliun.
2. Ini adalah “prestasi” nyata pemerintah selama ini: menumpuk utang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar