Jumat, 11 Oktober 2013

Menjadi Pintar dengan Tetap Fun


Jakarta - Tanpa dipusingkan Ujian Nasional (UN), sejumlah anak tetap bisa memiliki ijazah hingga SLTA. Mereka juga tetap bisa pintar dan terpelajar tanpa perlu berangkat ke sekolah. Salah satunya adalah Minuk. Setiap pagi, Minuk kini tidak perlu lagi terburu-buru mandi. Ia juga tidak harus menyantap sarapan dengan tergesa-gesa. Meskipun hari itu bukan hari libur, gadis 17 tahun itu bisa santai karena tidak harus berangkat ke sekolah. Minuk bukan dari kalangan miskin yang tidak bisa sekolah karena masalah biaya. Gadis bernama lengkap Eka Putri Dutasari adalah putri sulung Seto Mulyadi.

Dialah Ketua Komnas Anak yang akrab disapa Kak Seto yang tentu saja sangat dikenal masyarakat. Soal biaya pasti bukan kendala bagi pria itu untuk menyekolahkan anak-anaknya. Dulu, Minuk sempat sekolah bahkan hingga kelas I SMA. Tapi ia merasa tidak nyaman dengan sekolahannya. Bagi gadis yang aktif membantu kerja ayahnya di Komnas Anak itu, pendidikan di sekolah terlalu mengekangnya. "Sistem yang dipakai seringnya sistem tekanan guru kepada murid. Guru sering antikritik sehingga murid tidak mendapatkan rasa aman untuk menunjukkan kreativitas dan kecerdasannya," papar Minuk. Kecewa dengan sistem sekolah, Minuk pun memilih keluar. Ia merasa bisa belajar sendiri dan lebih pintar tanpa harus berangkat ke sekolah.


Ia lantas memutuskan belajar sendiri di rumah alias mempraktekkan homeschooling. Dengan sistem ini, putri sulung dari 4 bersaudara ini lebih fleksibel menentukan waktu belajar. Setiap pagi Minuk tidak lagi harus mengurus seragam ataupun menghabiskan waktu untuk menempuh perjalanan ke sekolah. Putri Kak Seto itu kini bebas menentukan jam belajar dan jenis pelajaran sendiri. Ia tidak perlu keluar rumah karena belajar bisa dilakukan di rumahnya sendiri. Untuk pelajaran yang tidak sulit, Minuk mempelajarinya sendiri didampingi sang ayah. Baru untuk pelajaran yang rumit seperti matematika atau pelajaran eksakta, Minuk memanggil guru privat atau ikut bimbingan belajar. Minuk sangat enjoy dengan sistem pendidikan di rumah. Beda dengan sekolah yang membuatnya bosan sehingga ia menunggu-nunggu waktu pulang, homeschooling justru membuatnya keenakan belajar. "Kalau di bawah bimbingan guru privat, selesainya biasanya jam lima sore. Tapi kadang-kadang dengan kurikulum yang kita ciptain sendiri malah aku keasyikan hingga lewat dari jam tersebut," jelas Minuk. Hasilnya, pendidikan di SMA yang seharusnya selesai dalam 3 tahun, bisa Minuk lewati hanya 2 tahun. Tanpa harus berangkat sekolah, Minuk dinyatakan lulus SMA. Ia juga tidak dipusingkan Ujian Nasional (UN) yang kini menjadi kontroversi. Setelah belajar sendiri di rumah, gadis 17 tahun itu mengikuti ujian kejar paket C atau setara dengan SMA. Minuk lulus dan mengantongi sertifikat Kejar Paket C. Dengan sertifikat itu, ia bersiap-siap untuk mendaftar di Perguruan Tinggi. Di Indonesia, homeschooling memang belum umum. Padahal jenis pendidikan ini sudah diterapkan oleh tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro sejak zaman penjajahan Belanda. Di Amerika Serikat (AS), sistem pendidikan ini diikuti lebih dari 1 juta orang.

Meski belum umum, sistem ini mulai banyak pengikutnya di Indonesia. Selain anak Kak Seto, ada juga anak Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Sofjan Djalil. Kemudian keluarga artis Neno Warisman dan Dick Doang. Ada juga keluarga biasa seperti Wanti Wowor, Helen Ongko, dan Yayah Komariah. Wanti Wowor, ibu 4 anak memutuskan mengajar sendiri anak-anaknya juga karena tidak puas dengan sistem pendidikan yang ada. Perempuan 39 tahun itu pernah melihat praktik bersekolah di rumah ketika berada di Amerika Serikat. Tahun 1992, Wanti mengeluarkan semua anaknya dari sekolah. Wanti lantas meminta teman-temannya di AS agar mengirimkan buku dan silabus kurikulum pendidikan di rumah ala AS untuk diadopsi. Perempuan itu menetapkan pukul 08.00-12.00 WIB sebagai waktu belajar di rumah. Untuk ujian, ia menerima draf soal ujian dari AS yang kemudian dikirimkan kembali untuk dinilai. Anak-anak Wanti, Fini dan Fina, sekarang duduk pada tingkat perguruan tinggi. Fini melanjutkan sekolah desain mode di Esmod Jakarta, sedangkan Fina memilih Universitas Indonesia program Internasional. Dibandingkan, mahasiswa lainnya yang bersekolah formal, Fini mempunyai kelebihan lebih disiplin dan lebih berani mengeluarkan pendapat.

Apa itu homeschooling? Pada dasarnya homeschooling sebenarnya sama saja dengan sekolah biasa. Hanya saja pendidikan ini dilakukan di rumah sehingga siswanya tidak perlu berangkat ke sekolah formal. Menurut Kak Seto yang menjadi Ketua Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Aternatif (Asahpena), kurikulum home schooling seratus persen mengacu pada kurikulum nasional yang mencakup lima materi. Yakni iptek, kewarganegaraan, keolahragaan, etika, dan estetika. Hanya metodenya saja yang berbeda.

Pendidikan di rumah dibuat seperti tamasya yang menyenangkan. "Waktunya fleksibel. Kalau ditanya kapan waktu belajarnya, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Tempatnya di mana saja. Di mana saja bisa di kamar tidur, ruang makan, ruang keluarga, di kebun, taman, atau mungkin pabrik dan ketemu siapa saja," jelas Kak Seto. Meski fleksibel soal waktu yang kesannya seperti menggampangkan, sistem pendidikan ini mempunyai sejumlah keunggulan. Salah satunya, homeschooling lebih manusiawi dibandingkan sekolah formal. Anak tidak stres karena sistem pendidikan tidak kaku dan lebih kreatif. Selain itu, anak bisa lebih fokus mengembangkan dan menekuni minat dan bakatnya masing-masing.

Pengumuman Diberitahukan Kepada Seluruh Orang Tua Murid


PENGUMUMAN
Dengan Hormat
Dengan ini diberitahukan bahwa :
Mulai tanggal 14 Oktober 2013 sudah libur dan Masuk lagi  Hari Senin Tanggal, 21 Oktober  2013.  Karena untuk menyambut Hari Raya Idhul Adha 1434 H, dan untuk itu kami dari Keluarga Besar Paud Home Schooling Khoiru Ummah El-Fatih Mengucapkan:
,”Selamat Hari Raya Idhul Adha 1434 H, Selamat Liburan dan Selamat berqurban,  semoga qurban kita diterima Allah SWT. Amin ,”
Atas perhatianya Bapak/Ibu /Wali Murid tidak lupa kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami
Kepala Sekolah
Home Schooling Khoiru Ummah El-Fatih
Ttd
Ibu Ibu Indriyati

Kamis, 10 Oktober 2013

Manfaat Tahfizul Quran



Oleh Baginda Yusuf
 
Beberapa orang yakin, bahwa setiap orang yang ingin bersusah payah dalam mencari ridho Allah agar bisa masuk surga. Semua itu bisa terlaksana (tercapai) dengan cara yang cukup mudah yaitu dengan tahfizul quran (menghapal Al Quran).
Tahfizul Quran adalah menghapal Al Quran, dan tidak hanya sebatas dihapalkan, namun juga diamalkan walaupun baru sebatas satu ayat. Apalagi kalau sudah banyak ayat yang dihapalkan, agar dakwah Islam bisa tersebar ke seluruh dunia.
Kenapa dengan tahfizul quran bisa masuk surga secara instant? Karena Allah Azza wa Jalla akan memasukkan para penghapal Quran kedalam keluargaNya, yakni keluarga para penghapal Quran.
Selain itu, ternyata ketika menghapalkan Al Quran dapat membuat kita lebih cerdas dan mudah dalam mengerjakan sesuatu. Kenapa? Karena saat ayat-ayat Al Quran dilantunkan, hati dan pikiran kita akan tenang dari hiruk pikuk aktivitas sehari-hari.
Dalam menghapal Al Quran, ada hal penting yang paling susah, yakni menjaga hapalan tersebut agar tidak lupa. Makanya, dalam menghapal Quran kita harus konsentrasi.
Konsentrasi itu berupa konsentrasi dalam menghapal dan mengulanginya kembali (muroja’ah). Karena saat kita menghapal quran sebenarnya amat mudah, Tapi, saat kita mengulang hapalan tersebut kita kadang kewalahan, apalagi kalau kita sudah lama tidak muroja’ah (mengulang hapalan). Maka untuk berhasil dalam menghapal al Quran dibutuhkan konsentrasi yang besar (tingkat tinggi).
Jika sudah hapal beberapa juz dan kita melupakannya dan tidak mengamalkannya maka kita akan mendapat peringatan dan berdosa.

Bahasa Indonesia Dari Sudut Pandang Aqidah Islam

Oleh ustadzah Ir. Lathifah Musa
Selama ini Bahasa Indonesia seringkali dipandang sebagai pelajaran tidak bergengsi. Tidak jarang siswa kelas menengah dan atas memandangnya dengan sebelah mata. Maklum saja, anggapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari dipandang telah cukup. Tak perlu belajar pun, anak-anak sudah bisa berbahasa Indonesia. Padahal tak hanya sebagai alat komunikasi.
Perhatian khusus terhadap pelajaran Bahasa Indonesia akan mampu melejitkan kecerdasan siswa. Kecerdasan berbahasa ini akan meningkatkan kompetensinya di berbagai bidang ilmu. Namun hal yang paling penting adalah kemampuan berbahasa Indonesia akan menunjang proses membangun landasan berpikir siswa. Inilah yang disebut konsistensi menanamkan Aqidah Islam dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia.
Landasan Kemampuan Berbahasa Indonesia
Setiap kali memulai pelajaran Bahasa Indonesia di kelas baru, siswa selalu diingatkan pada target pembelajaran bahasa. Di dalam Al Qur’an Surat Fushilat: 33, disebutkan bahwa orang yang terbaik perkataannya adalah mereka yang menyerukan untuk beriman kepada  Allah SWT, beramal shalih dan mengikrarkan diri secara nyata sebagai seorang muslim.
Ahsan Qaulan, dimaksudkan sebagai orang yang paling baik perkataannya. Perkataan seseorang menggunakan sarana bahasa. Sehingga target pembelajaran bahasa adalah menjadi orang-orang yang memiliki Ahsan Qaulan.

Ahsan Qaulan adalah sifat dan cara berbahasa orang-orang yang menyeru kepada Islam (berdakwah), beramal shalih dan menyatakan ke-Islamannya secara nyata.  Inilah yang dimaksud dengan wajibnya Aqidah Islam menjadi landasan dalam berbahasa. Bisa dikatakan bahwa bahasa seseorang mampu menunjukkan aqidahnya. Setiap perkataan dan pernyataan seorang muslim  tidak boleh bertentangan dengan aqidahnya.
Kewajiban Menggunakan Sudut Pandang
 Sejak tingkat pertama, siswa diajarkan bagaimana menggunakan sudut pandang dalam berbahasa. Sudut pandang ini adalah cara memandang fakta, fenomena, berita dan apapun yang dicerap oleh inderanya tanpa pernah melepaskan sifat ke-Islamannya.  Rasa takjub, heran, sedih, gembira, diwujudkan dengan kalimat-kalimat tasbih, hamdalah, syukur dan lain-lain.
Masih di tingkat pertama, siswa diajarkan untuk mampu membedakan sudut pandang yang bersifat Islam dan non Islam.  Tulisan-tulisan yang dibaca siswa dalam artikel-artikel di media massa, tidak selalu bersifat netral. Dalam pembahasan sains yang berkembang di masyarakat saat ini pun tidak selalu kosong dari aqidah. Sebagai contoh, artikel yang membahas tentang Fenomena Black Hole, Penemuan Planet-planet Baru, Badai Matahari dan lain-lain, seringkali tanpa disadari menyajikan keraguan terhadap Sang Pencipta Alam Raya. Paham liberal, materialistis dan hedonis, kerap mengikuti pemberitaan media-media massa.
Di tingkat kedua, siswa diajarkan untuk mampu membedakan, apakah sebuah pernyataan mengandung nilai atau bersifat netral. Antara fakta dan opini, adalah kenyataan informasi yang akan ditangkap siswa, ketika mereka menerima, mendengar dan melihat berita-berita di masyarakat.  Kemampuan membedakan dan menilainya, dipengaruhi oleh aqidah tertentu. Inilah satu alasan penting, bahwa sudut pandang tidak boleh dilepaskan dari cara berbahasa.
Mengasah Keahlian Berbahasa
Berbahasa yang baik memerlukan keahlian. Keahlian ini yang akan menentukan, apakah pesan bisa tersampaikan dengan baik atau tidak. Keahlian ini meliputi kemampuan menyampaikan secara lisan atau tulisan. Pada setiap tingkatan pembelajaran Bahasa Indonesia, hampir tidak pernah kosong dari waktu untuk selalu melatih kemampuan. Inilah sebabnya, ada sesi  khusus untuk mengasah kemampuan berbicara dan menulis.
Sejalan dengan waktu, siswa akan dinilai, bagaimana penggunaan sudut pandangnya dalam setiap kesempatan. Apakah terbentuk pola berpikir sesuai sudut pandang Islam (aqidah)? Apakah telah terbentuk kekonsistenan dalam penggunaan pola ini? Apakah pola berpikirnya telah membentuk perilaku Islami? Bahasa yang digunakan siswa akan menunjukkan kemampuan ini.
Beberapa tahapan menjadi sandaran untuk menilai kemampuan berpikir siswa. Pada tahap awal, bagaimana kemampuannya membaca berita? Tahap kedua, bagaimana kemampuannya menganalisis  masalah? Tahap ketiga, bagaimana menilai masalah sesuai dengan sudut pandang Islam. Proses ini senantiasa diulang-ulang dalam pembelajaran.
Pengulangan secara konsisten akan meningkatkan kualitas setiap tahapan. Tahapan inilah yang dalam upaya pengukuran standar kompetensi dipilah menjadi: Pembentukan Pola Pikir, Berpikir Benar, Berpikir Serius dan Berpikir Cepat. 
Keahlian Berbahasa Menopang Kemampuan Dakwah

Tak ada yang lebih baik perkataannya, daripada seorang pengemban dakwah Islam. Pepatah mengatakan, ketajaman lisan dan pena mampu mengalahkan pedang.
Bahasa Dakwah adalah Bahasa Amar Ma’ruf Nahi Munkar.  Bahasa ini kokoh tegak di atas landasan Aqidah Islam. Bahasa pengemban dakwah sejati, tak lekang oleh arus zaman. Angin dahsyat Liberalisme, Kapitalisme, Sekularisme dan Demokrasi tidak akan mampu menggoyahkannya. Bahkan pilihan kata, adalah warna aqidahnya.
Dengan demikian, tak ada yang lebih penting diperhatikan oleh seorang guru Bahasa Indonesia, selain dari kekonsistenan Aqidah Islam dalam seluruh ekspresi Pembelajaran Bahasa Indonesia.
Sebagaimana terkandung dalam Al Qur’an Surat Fushilat ayat 33, maka kemampuan bahasa yang tertinggi adalah kemampuan beramar ma’ruf nahi munkar. Penguasaan Al Qur’an juga menjadi landasan, selain kemampuan berbahasa.
Kemampuan berbahasa Al Qur’an adalah tingkat tertinggi dari segala bentuk kemampuan  berbahasa. Belajar Bahasa Indonesia menjadi tahapan untuk membawa umat Islam negeri ini menuju kesadaran mempelajari jenis bahasa yang terbaik, yakni Bahasa Arab.  Dengan demikian, motivasi dakwah menjadi alasan terkuat untuk mempelajari Bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa dakwah adalah karakter berbahasa para pemimpin.
Sekolah ini sedang mendidik dan membina Para Calon Pemimpin. Aset pahala bagi kita semua, khususnya para orang tua dan gurunya.